Kamis
kemarin kami mendapatkan mandat untuk keliling Jogja, delivery order tasyakuran. Tasyakuran cucu pamanku. Aku, Kakak, dan
Gibran. Keliling Jogja mulai dari yang terdekat dengan kampung kami. Saat cuaca
menyengat, sekitar pukul setengah 1 kami berangkat. Perjalanan awal Gibran
masih semangat duduk di muka, samping Pak Kusir a.k.a. ayahnya :D. Sampai di
daerah Kronggahan, doski mulai mengantuk dan akhirnya bisa tertidur pulas. Zzzt
zzzt zzzt.
Doski
bangun saat rombongan kami sampai di sekitaran kampus UII, tepatnya di Fakultas
Ekonomi. Saya berpikir bahwa doski kelaparan, karena pada waktu berangkat doski
belum makan siang, bangun sekitar pukul 2 siang. Bisa ditebak juga, doski
seperti tidak bergairah gitu, tandanya lapar :D. Doski aku kasih roti tawar kismis
dari sariroti yang enak itu, udah abis selembar. Sepakat untuk mencari makan
yang cepat dan enak serta cocok untuk doski. Dipilihlah satai. Oke, selesei.
Celingak-celinguk sepanjang perjalanan, nyari tukang satai. Di daerah Seturan,
tetep nyari satai, tetep nggak ada. Pada
ke mana sih ini tukang satai?
Perjalanan
ke Prambanan, tetep nyari satai, di deket Kalasan ada warung satai, tapi
kayaknya belum siap jual karena tukang satainya masih mempersiapkan dagangan,
oke, nggak jadi lagi. Akhirnya sampai di Prambanan, doski disarankan makan
bekalnya karena tak kunjung menjumpai pedagang satai, tapi nggak mau, milih
makan kerupuk. Dari Prambanan beralih ke Janti, perjalanan pulang pun tak
kunjung menjumpai warung satai. Selesai. Dari perjalanan Janti menuju Moyudan,
akhirnya di daerah Sokowaten ada penjual satai, lagi kipas-kipas arang. Asyik.
Eh, tunggu, turun, tanya pedagang, belum siap katanya. Oke, sedih deh, satai oh
satai....
Nah, di
Timoho akhirnya mendapatkan satai yang siap jual. Asyik, beli Rp15.000,00
dengan lontong dua. Akhirnya Gibran bisa makan satai setelah penantian yang
panjang. Makan lahap.
Kenapa
satai sulit ditemui di siang hari? Karena, karena... mbuh ah.