Social Profiles

TwitterFacebookGoogle PlusLinkedInEmail

Info

Lorem ipsum no has veniam elaboraret constituam, ne nibh posidonium vel.
Powered by Blogger.

Blogger templates

RSS

Pages

21 Februari 2015, Tulungagung, Tania, dan Malioboro Ekspress


Salah satu kabupaten di Jawa Timur yang begitu familier bagiku sejak beberapa tahun yang lalu, tepatnya 7 tahun yang lalu. Kenapa? Karena, aku punya salah seorang kawan yang berasal dari sana. Orang memanggilnya Asty karena namanya memang Tiasty. Lain dengan aku, aku memanggilnya Tania. Kenapa? Akan aku jawab, mungkin di ceritaku yang lain :p. Maaf kecewa.

Setelah 7 tahun berteman, aku begitu familier dengan kabupaten itu karena Tania. Iya, karena Tania. Hmmm. Namun, baru datang kesempatanku untuk mengunjungi kota itu kemarin, tepatnya pada 21 Februari 2015. Aku ke sana dalam rangka menghadiri acara akbar walimahan Tania dan Babang. Oke.

Berangkatnya.

Aku berangkat dari Stasiun Tugu pukul 08.10 bersama Titis. Kami diantar oleh benda bernama Malioboro Ekspress, kereta. Aku baru kali pertama naik kereta ini. Menurutku keretanya cukup nyaman untukku—aku sangat suka kereta. Kereta ini terdiri atas beberapa gerbong yang terbagi menjadi dua kelas. Kelas eksekutif dan kelas ekonomi. Kami memesan tiket untuk kelas ekonomi, harganya Rp125.000. Tempat duduknya empuk, tapi 90 derajat, agak pegel memang—namanya juga ekonomi. AC-nya nggak begitu kerasa, tapi tetep nyaman karena nggak sumpek dan bau. Sampai Tulungagung pukul 13.10 menit. Turun, kemudian sembahyang Dhuhur dulu. Stasiun Tulungagung tidak begitu besar, tempatnya bersih, dan di seberang relnya ada tulisan TULUNGAGUNG cukup gede—semacam tulisan kayak di Pantai Losari. Aku bilang pada Titis, “Tis, nko bengi foto nang kono yo.”

Keluar stasiun, di seberang stasiun ada hotel agak besar, lupa namanya. Kami dijemput naik motor oleh kerabat Tania. Aku mengamati jalanan Tulungagung. Mirip juga dengan Jogja, walaupun nggak seramai Jogja. Akhirnya, sampai rumah Tania sekitar 15 menit. Masih banyak tamu yang hadir, kami haha-hihi, duduk-duduk, makan, haha-hihi, makan, istirahat. Haha-hihi dilanjutkan, hampir pukul 20.00, kami ngantuk, tidur, bangun pukul 21.30. Siap-siap pulang. Kami diantar langsung oleh Pak Ngatwandi, Ibuk Muntiarin, dan Dik Titin—ayah, ibu, dan adik Tania. Sungguh kehormatan yang begitu besar malam itu.Tak lupa kami membawa bingkisan dari Tania, angsul-angsul kalau kata orang Tulungagung.

Pulang

Sampai stasiun. Kami naik Malioboro Ekspress lagi, keberangkatan dari Tulungagung pukul 22.41, kereta datang tepat waktu, sukses. Ada satu hal yang aku lupakan malam itu, aku gagal foto di tulisan TULUNGAGUNG itu, hiks, sedihnya. Kereta berangkat dengan tenang. Kami terlelap tidur. Kedinginan, fyi, AC kereta kalau malam hari kerasa banget ademnya. Tapi tetep bisa tidur. Eh, ujug-ujug udah ada pemberitahuan kalau sampai di Stasiun Tugu. Turun, nunggu Subuh, sembahyang, pulang ke rumah masing-masing. Adem.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Akhirnya Bisa

Kenapa begitu? Ya, karena pada percobaan pertama aku gagal.

Saat itu aku mencoba peruntunganku di bank darah—aku lupa namanya—RS Sardjito, oke, donor darah. Peristiwa itu terjadi sekitar bulan Juni, atau malah Juni—lupa tepatnya. Siang itu sekitar pukul 12.00 aku menyambangi lokasi tersebut dan berniat menyumbangkan darahku. Oke selesai, niat sudah ada.

Aku mendaftar di resepsionis, petugas administrasi deh. Aku isi formulir, aku jawab semua pertanyaan yang mereka butuhkan. Tak lama setelah itu, namaku disebutnya—duh malunya aku, semua orang pasti mendengarnya, oke nggak penting. Aku pun masuk ke ruang tes, pengambilan sampel. Di sana aku diambil darah se-encrit untuk mengetahui layakkah aku menyumbangkan darahku yang berharga ini. Proses cukup cepat, nggak ada 5 menit.

Sebelumnya aku masih bergembira dan tidak punya persiapan untuk mendapatkan kabar buruk—petir menggelagar. Oke, mbaknya tanpa basa-basi dan tanpa menari, langsung memberitahuku bahwa aku tidak layak donor, hiks. Kenapa tidak boleh donor? Karena hemoglobinku saat itu hanya sekitar 11,9. OMG. Nggak sepadan sama berat badanku. Aku kurang gizi. Pikiran itu menghantuiku. Oke fix, pulang dengan kekecewaan dan tangan hampa. Bye maksimal.

Oke, setelah beberapa bulan berlalu akhirnya aku bisa melupakan peristiwa itu. Sungguh tragis, ironis, dan melankolis.

Tiba saatnya.

Hari itu tanggal 13 Februari 2015, aku kembali mencoba peruntunganku di bank darah RS Sardjito. Berdoa semoga Allah memberiku kesempatan keren itu. Sama seperti sebelumnya, isi formulir dan tes sampel darah. Dicek berapa hemoglobinku saat itu. Wooow, akhirnya kesempatan itu datang juga, setelah sekian lama aku tunggu, diketahui hemoglobinku mencapai angka 12,8. Oke fix, aku nggak malu lagi karena sekarang aku nggak kurang gizi, Yeeeay.

Masuk ruang pengambilan darah. Namaku dipanggil, disertai perasaan deg-degan. Disuruh tiduran, tangan dicoblos dengan jarum dan seketika darah segar mengaliri selang. Detik demi detik berlalu, sampai hampir 15 menit. Akhirnya kantong darah itu terisi penuh. Alhamdulillah. Keluar dan membawa bingkisan pendonor (susu kotak, air mineral, biskuitnya bang Haji). Pulang beli satai :D.


Oiya, tanggal 13 Februari 2015 jadi hari bersejarah buatku, nggak akan lupa—tapi kalau pas lupa ya nggak apa-apa ya, namanya juga manusia, gudangnya khilaf dan lupa. Kali pertama donor, saat usiaku 25++. Alhamdulillah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Apakah Pertanyaan Butuh Jawaban?

Semua pertanyaan butuh jawaban?

Pertanyaan di atas juga butuh jawaban. 

Mungkin memang semua pertanyaan butuh jawaban. Ada pertanyaan yang memang harus dijawab, tapi si penjawab enggan untuk menjawabnya. Banyak alasan kenapa si penjawab enggan memberikan jawabannya. Banyak.

Mampukah pertanyaan itu menunggu sekian lama hanya untuk sebuah jawaban. Jawabannya pun tak pasti. Iya, tak pasti.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

“Dari Jawa ya, Mbak?”

Peristiwa ini terjadi setahun silam, sewaktu aku pergi ke Jakarta untuk mencoba peruntungan. Hahaha, panggilan kerja doang, itu juga masih tes tertulis.

Malam itu, aku selesai tes di  kawasan Pal Merah. Aku kemudian naik bus TransJakarta menuju kos temenku di daerah Pasar Jumat. Aku turun di halte terakhir Lebak Bulus sekitar pukul sembilan-an. Aku duduk-duduk sebentar di koridornya. Kemudian ada lelaki setengah baya yang juga duduk di sana, di sampingku agak jauh. Kemudian doski bertanya kepadaku, “Dari Jawa ya, Mbak?” Aku pun menjawab, “eh, Jogja, Mas” (agak meringis). (Mungkin mukaku kelihatan sangat tidak Jakarta sehingga mas-mas itu bisa mengira kalau aku bukan orang Jakarta.)

Pertanyaan yang sangat simpel, tetapi mengandung tanda tanya besar. Apaaaaaa?
Aku dalam hati berbicara pada diri sendiri, Jawa? Hello, ini juga Jawa kalik, Mas. Namun, aku urung untuk mengatakannya lebih lanjut. Aku memilih kabur meninggalkannya. Bye maksimal.

Persoalan peliknya adalah....

Kenapa beberapa orang Jakarta (mungkin ada yang lain juga) sering menyebut Yogyakarta (mungkin juga daerah lain—aku belum melakukan penelitian lebih lanjut) dengan kata Jawa. Memang sih, benar bahwa Yogyakarta terletak di Pulau Jawa, aku tidak akan pernah memungkiri itu. Namun, jadi agak aneh kalau yang tanya itu orang yang sama, yang menempati Pulau Jawa juga. Ya, kayak mas- mas itu. Padahal kan, mereka juga menginjak tanah Jawa, tanah Pulau Jawa. Rodo aneh emang.


Pertanyaan besar yang harus dijawab dengan penelitian. Sungguh pelik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS